penemuan hukum atau perilaku “chaos”

April 25, 2010

Penemuan Hukum Ataukah Perilaku “Chaos”

Mahkamah Agung mengklaim telah melakukan penemuan hukum tatkala memutus perkara sengketa pilkada sul-sel. Hal itu dilakukan demi memperoleh kebenaran material/ substansial yang tidak mungkin diperoleh jika hanya mengikuti peraturan formal.
Namun, banyak pihak menyatakan, Mahkamah Agung (MA) telah melampaui wewenang dan sama sekali tidak mempertimbangkan peraturan perundang-undangan pilkada seperti UU No. 32/ 2004 dan Peraturan Pelaksanaannya. Pertanyaannya, benarkah MA telah melakukan penemuan hukum?
Proses Konkritisasi
Penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, seperti interpretasi, argumentasi atau penalaran, konstruksi hukum, dan lain-lain. Kaidah-kaidah dan metode-metode tersebut digunakan agar penerapan turan hukumnya terhadap peristiwanya tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum sehingga hasil yang diperoleh dari proses tersebut jug dapat diterima dan dipertanggung jawabkan dalam ilmu hukum. Ini artinya penemuan hukum dapat diartikan sebgi proses konkretisasi peraturan (das sollen) kedalam peristiwa konkret tertentu (das sein).
Dalam praktik, kita temukan banyak peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Oleh karena itu, peraturan hukum yang tidak ada harus diadakan, yang tidak jelas harus dijelaskan, dan yang tidak lengkap harus dilengkapi, dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dengan penemuan hukum, kita berharap setiap putusan hakim harus mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menemukan hukum namun setiap metode tersebut tidak boleh menagabaikan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku universal, baik yang terkandung dalam setiap undang-undang, yurisprudensi, doktrin, perjanjian, kebiasaan, dn perilaku manusia yang beradab. Kita juga tidak dapat mengabaikan begitu saja tujuan dari pembentuk dn pembentukan undang-undang karena hal itu merupakan jiwanya. Tanpa ini, sebuah undang-undang tidak ada artinya.
Jika hukum diamini oleh Satjipto Rahrjo sebagi perilaku, apa yang dilakukan oleh MA didalam putusan dlam kasus pilkada sulsel adalah sebuah bentuk perilaku yang chaos. Dalam teori hukum, chaos bermakna kekacauaan dan ketidk teraturan. Dunia chaos dalam arti positif akan dipenuhi dengan energi kegelisahan, gairah, hasrat, kehendak, dan ekstase yang mendorong bagi penjelajahan, pencarian sehingga menciptakan peluang kreativitas, pencarian sehingga menciptakan peluang kreativitas, dinamisitas, dan produktivitas.
Apakah penemuan hukum dalam hal ini bisa dimaknai sebagai bagian dari ke-chaos-an? Bisa ya dan bisa tidak. Namun, dari sisi negatif, dunia chaos bisa bermakna pada ketidakteraturan dan kekacauan yang merusak tatanan nilai dan norma, artinya bertentangan dengan teori tentang sistem hukum (theories of legal system). Oleh karena itu, dunia chaos harus didasarkan pada energi kegairahan, bukan didasarkan pada energi kepentingan/kekuatan.
Charles Sampford menggunakan teori chaos sebagai melle (disorder of law). Menurut baliau, hukum pada dasarnya adalah kondisi ketidakteraturan karena begitu banyak faktor yang mempengaruhinya, termasuk kekuatan-kekuatan yang saling tarik menarik dan berbenturan didalamnya (asimetris). Bagi penganut teori sistem hukum, pembentukan perilaku yang diperankan oleh MA dalam Pilkada sul-sel adalah perilaku chaos bagi dunia hukum dan lawan bagi keteraturan.
Namun, perlu dipertanyakan, betulkah MA menyadari “teori chaos” semacam ini. Apabila disadari, pengambilan putusan MA dalam kasus Pilkada sul-sel masih bisa dipahami. Namun, apabila hal itu dikatakan sebagai suatu penemuan hukum sebagaimana dipahami oleh teoritisi hukum selama ini, hal tersebut tidaklah dapat dimengerti.
Kebenaran Substansial
Di dalam menyikapi putusan MA yang memerintahkan dilakukan Pilkada ulang sebagai bagian dari penemuan hukum, kami mempunyai pendapat sendiri. Peraturan perundang-undangan Pilkada di Indonesia seperti UU No. 32/ 2004 dan Peraturan Pelaksanaannya telah mengatur tentang apa yang disebut sebagai sengketa perhitungan suara/ sengketa Pilkada, sengketa administrasi dan kasus Pilkada.
Untuk penyelesaian sengketa perhitungan suara telah diatur dimekanismenya melalui upaya “keberatan”, baik yang diajukan ke Pengadilan Tinggi maupun MA. Untuk sengketa administratif telah diatur penyelesaiannya melalui peraturan dan keputusan KPU ataupun KPUD. Adapun untuk kasus-kasus pilkada seperti penggelembungan, kecurangan, dan tindakan-tindakan yang bersifat pidana diselesaikan melalui peradilan umum.
Oleh karena itu, dalam upaya penyelesaian sengketa perhitungan suara melalui keberatan ke Pengadilan Tinggi ataukah ke MA, kebenaran yang dicari adalah kebenaran angka bukanlah kebenaran substansial sebagaimana yang dimaksudkan dalam putusan MA dalam memeriksa upaya keberatan dalam pilkada sul-sel. Sementara pencarian kebenaran substansial hanyalah bisa dilakukan oleh peradilan umum untuk menyelesaikan kasus-kasus pilkada yang bersifat pidana. Oleh karena itu, tidak lah salah apabila banyak pihak menyatakan MA telah melampaui wewenagnya.
Jikalau MA kemudian menyatakan telah melakukan penemuan hukum didalam menyelesaikan sengketa perhitungan suara, penemuan hukum seperti apa yang dimaksudkan oleh MA. Bagaimana mungkin sebuah sengketa angka dicari dalam kebenaran substansial?. Peraturan perundang-undangan pilkada kita telah mengatur secara jelas dan lengkap bagaimana menyelesaikan sebuah sengketa angka bahkan mengatur alat-alat bukti yang bisa dipakai di dalam mencari kebenaran angka tersebut. Jadi, tidak ada hukum yang harus ditemukan, dicari, dilengkapi, ataupun dijelaskan.
Penemuan hukum ataupun perilaku chaos hanyalah dapat dipahami secara teoritis, tapi benarkah putusan MA dalam kasus pilkada sul-sel telah memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan? Hanya publik yang bisa menilainya.

MA-KY
Lobi atau Kebenaran Hukum
Melalui surat tertanggal 9 Februari 2006, Ketua Komisi Yudisia Busro Muqaddas mengatakan status 13 hakim agung yang namanya sempat diumumkan di media tidak bermasalah, apalagi berslah.
Dengan adanya pernyataan itu, salah satu hakim agung, Artidjo Alkostar, lalu mencabut laporannya di kepolisian. Busro mengatakan, Komisi Yudisial (KY) akan mencoba menyelesaikan perselisihan dengan mahkamah agung (MA) secara dialog dan mencoba melakukan program kerja pengawasan yang matching dengan program kerja pengawasan yang dilakoni MA.
Harian kompas (18/2/2006) memuat karikatur, menggambarkan ketawa cekikan antara para petinggi KY dan MA. Pertanyaan, apakah hal itu suatu kemenangan lobi atau kebenaran hukum.
Kepentingan Publik
Pengawasan terhadap perilaku hakim adalah bagian kepentingan publik yang tidak bisa diabaikan. KY dan MA diberi kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim sebagaimana diatur dalam UU No.32 /2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. 5 / 2004 tentang perubahan terhadap UU No. 14 /1985 tentang Mahkamah Agung.
Dengan kewenangan itu, masyarakat menaruh harapan besar kepada KY dan MA untuk memperkuat dan menyelamatkan agenda reformasi di peradilan.
Karena itu konflik yang terjadi antara KY dan MA harus diselesaikan secara hukum dan kelembagaan, bukan melalui dialog antara orang perseorangan didalam kedua lembaga itu. Penyelesaian dialog lebih banyak ketimbang suatu penyelesaian demi kepentingan kelembangan dan kepentingan publik.
Perlu disadari , konflik antara MA dan KY pada dasarnya bukan lagi konflik antara orang perseoarangan, tetapi konflik kewenangan yang melibatkan kepentingan publik sehingga penyelesaian yang dilakukan juga harus berdasarkan kewenagan yang diberikan oleh Undang-Undang.
Konflik KY dan MA tidak sekedar konflik biasa yang diselesaikan melalui lobi atau semacamnya atau sebagaimana konflik biasa setelah kedua belah pihak ditemukan saling memaafkan kemudian selesai. Konflik MA dan KY sudah menyangkut kepentingan publik, kepentingan pengawasan masyarakat terhadap hakim yang menjadi concern dari reformasi peradilan, dan kepentingan pemerintah yang ingin menjadikan lembaga peradilan yang bersih, kepentingan masyarakat yang dirugikan akibat perilaku hakim yang tidak adil dan korup serta kepentingan investor yang selama ini memandang peradilan kita kotor dan tidak bersahabat.
Karikatur kompas adalah bagian dari sindiran terhadap MA dan KY yang memilih jalan pintas untuk menyelesaikan konflik dengan lobi-lobi untuk kepentingan pribadi dan kelompok, tanpa memikirkan kepentingan publik yang menghendaki penyelesaian konflik sesuai dengan mekanisme yang jelas dan transparan.
Pusaran konflik MA dan KY jelas berkisar pada kewenangan pengawasan dan kewenangan publikasi sehinggan konflik itu mau tidak mau harus diselesaikan melalui mekanisme uji materill (Judicial Review) atau amandemen Undang-Undang KY maupun MA.
Amat disayangkan jika kemudian baik MA maupun KY berpikir untuk menyelesaikan konflik kewenangan itu melalui dialog sebagaimana yang dimaksud oleh ketua KY atau berupa kesepahaman mengenai program kerja / tata kerja pengawasan masing-masing lembaga.
Penyelesaian melalui uji materi atau amandemen lebih elegan dan yuridis ketimbang penyelesaian dialog antara KY dan MA yang sarat kepentingan pribadi dan kelompok ketimbang kepentingan publik, yang tentu amat merugikan kepentingan pengawasan publik umumnya.
Dalam penyelesaian uji materi kita bisa menyelesaikan konflik kewenangan pengawasan atau publikasi sesuai denga peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana ketentuan pengawasan yang ada di dalam Undang-undang MA dan KY itu bisa diuji dan dicari batasan-batasannya.
Jika konflik berkisar tentang publikasi maka perlu dinilai sejauh mana kewenangan publikasi itu diberikan Undang-Undang kepada KY. Baik disurat kabar maupun media elektronik, kita belum pernah mendengar mengenai bahasan KY apakah boleh atau tidak mengumumkan laporan masyarakat kepada masyarakat. Dalam hal ini, ada yang berpendapat KY berwenang untuk mengumumkan laporan itu dan dipihak lain ada yang menyatakan sebaliknya.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) perlu menguji Undang-Undang KY. Kita tidak bisa bertengkar kemudian menyelesaikan sendiri karena nilai kepentingan publiknya terlalu besar.
Untuk perbandingan, pada zaman keberadaan KPKPN dulu, KPKPN dapat mengumumkan laporan hasil kekayaan pejabat di media massa. Saat itu banyak pihak, khususnya pejabat Negara, merasa keberatan dengan pengumuman KPKPN itu. Namun, saat itu, kewenangan KPKPN jelas diatur dalam ketentuan UU sehingga mereka tidak jalan terus.
Hal itu berbeda dengan KY yang tidak secara jelas diatur kewenangan publikasinya. Kami berpendapat, laporan masyarakat dan pemerikasaan atas laporan itu bernilai publik karena itu harus diumumkan kepada masyarakat. Pasal 38 UU No.22 / 2004 menyebutkan, KY bertanggung jawab kepada publik melalui DPR yang dilaksanakan dengan cara menerbitkan laporan tahunan yang antara lain berisi data dari pelaksanaan fungsi pengawasan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat kepada publik. Dengan demikian, jelas laporan masyarakat terhadap hakim agung merupakan bagian dari informasi yang harus diketahui publik.
Reformasi Peradilan
Masyarakat amat berharap kehadiran KY dapat membantu melakukan reformasi peradilan bersama-sama MA. Harapan KY untuk bersama-sama MA memperkuat dan menyelamatkan agenda reformasi diperadilan tidak akan berhasil jika penyelesaian konflik antara KY dan MA dilaksanakan dengan cara sekedar lobi untuk tidak saling menyerang atau tidak saling menuntut atau menyakiti.
Penyelesaian semacam ini lebih banyak mengandung unsur kepentingan pribadi dan kelompok ketimbang suatu penyelesaian menyeluruh untuk kepentingan kelembagaan dan kepentingan publik.
Usulan penyelesaian menyeluruh atas konflik KY dan MA bukan merupakan bentuk profokasi agar konflik diantara kedua lembaga it uterus berlanjut. Namun hal itu merupakan bentuk keinginan masyarakat untuk mencari kebenaran hukum sebagaimana dimaksud dalam karikatur kompas agar dilain waktu kedua lembaga itu terjebak konflik yang sama.

Hello world!

April 21, 2010

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!